Konfrontasi
Indonesia-Malaysia atau yang lebih dikenal sebagai Konfrontasi saja adalah
sebuah perang mengenai masa depan Malaya, Brunei, Sabah dan Sarawak yang
terjadi antara Federasi Malaysia dan Indonesia pada tahun 1962-1966.
Perang ini berawal dari
keinginan Federasi Malaya lebih dikenali sebagai Persekutuan Tanah Melayu pada
tahun 1961 untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak kedalam Federasi
Malaysia yang tidak sesuai dengan perjanjian Manila Accord Wikisource-logo.svg
oleh karena itu Keinginan tersebut ditentang oleh Presiden Soekarno yang
menganggap pembentukan Federasi Malaysia yang sekarang dikenal sebagai Malaysia
sebagai “boneka Inggris” merupakan kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk
baru serta dukungan terhadap berbagai gangguan keamanan dalam negeri dan
pemberontakan di Indonesia.
Pelanggaran perjanjian
internasional konsep THE MACAPAGAL PLAN antara lain melalui perjanjian Manila
Accord Wikisource-logo.svg tanggal 31 Juli 1963, Manila Declaration
Wikisource-logo.svg tanggal 3 Agustus 1963, Joint Statement Wikisource-logo.svg
tanggal 5 Agustus 1963 mengenai dekolonialisasi Wikisource-logo.svg yang harus
mengikut sertakan rakyat Sarawak dan Sabah yang status kedua wilayah tersebut
sampai sekarang masih tercatat pada daftar Dewan Keamanan PBB sebagai wilayah
Non-Self-Governing Territories.
Pada 1961, Kalimantan dibagi
menjadi empat administrasi. Kalimantan, sebuah provinsi di Indonesia, terletak
di selatan Kalimantan. Di utara adalah Kerajaan Brunei dan dua koloni Inggris;
Sarawak dan Borneo Utara, kemudian dinamakan Sabah. Sebagai bagian dari
penarikannya dari koloninya di Asia Tenggara, Inggris mencoba menggabungkan
koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya, Federasi Malaya dengan
membentuk Federasi Malaysia.
Rencana ini ditentang oleh
Pemerintahan Indonesia; Presiden Soekarno berpendapat bahwa Malaysia hanya
sebuah boneka Inggris, dan konsolidasi Malaysia hanya akan menambah kontrol
Inggris di kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia. Filipina juga
membuat klaim atas Sabah, dengan alasan daerah itu memiliki hubungan sejarah
dengan Filipina melalui Kesultanan Sulu.
Di Brunei, Tentara Nasional
Kalimantan Utara (TNKU) memberontak pada 8 Desember 1962. Mereka mencoba
menangkap Sultan Brunei, ladang minyak dan sandera orang Eropa. Sultan lolos
dan meminta pertolongan Inggris. Dia menerima pasukan Inggris dan Gurkha dari
Singapura. Pada 16 Desember, Komando Timur Jauh Inggris (British Far Eastern
Command) mengklaim bahwa seluruh pusat pemberontakan utama telah diatasi, dan
pada 17 April 1963, pemimpin pemberontakan ditangkap dan pemberontakan
berakhir.
Filipina dan Indonesia
resminya setuju untuk menerima pembentukan Federasi Malaysia apabila mayoritas
di daerah yang hendak dilakukan dekolonial memilihnya dalam sebuah referendum
yang diorganisasi oleh PBB. Tetapi, pada 16 September, sebelum hasil dari
pemilihan dilaporkan. Malaysia melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah
dalam negeri, tanpa tempat untuk turut campur orang luar, tetapi pemimpin
Indonesia melihat hal ini sebagai perjanjian Manila Accord Wikisource-logo.svg
yang dilanggar dan sebagai bukti kolonialisme dan imperialisme Inggris.
” Sejak demonstrasi
anti-Indonesia di Kuala Lumpur, ketika para demonstran menyerbu gedung KBRI,
merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan
Tunku Abdul Rahman—Perdana Menteri Malaysia saat itu dan memaksanya untuk
menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak. “
Demonstrasi anti-Indonesia di
Kuala Lumpur yang berlangsung tanggal 17 September 1963, berlaku ketika para
demonstran yang sedang memuncak marah terhadap Presiden Sukarno yang
melancarkan konfrontasi terhadap Malaysia juga kerana serangan pasukan militer
tidak resmi Indonesia terhadap Malaysia. Ini berikutan pengumuman Menteri Luar
Negeri Indonesia Soebandrio bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap
Malaysia pada 20 Januari 1963. Selain itu pencerobohan sukarelawan Indonesia
(sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk
menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase pada 12 April
berikutnya.
Soekarno yang murka karena
hal itu mengutuk tindakan demonstrasi anti-Indonesian yang menginjak-injak
lambang negara Indonesia dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan
gerakan yang terkenal dengan nama Ganyang Malaysia. Soekarno memproklamirkan
gerakan Ganyang Malaysia melalui pidato beliau yang amat bersejarah, berikut
ini:
” Kalau kita lapar itu biasa
Kalau kita malu itu juga biasa
Namun kalau kita lapar atau malu itu
karena Malaysia, kurang ajar!
Kerahkan pasukan ke Kalimantan hajar
cecunguk Malayan itu!
Pukul dan sikat jangan sampai tanah
dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu
Doakan aku, aku kan berangkat ke
medan juang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru
Bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya.
Serukan serukan keseluruh pelosok
negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini kita akan membalas
perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki Gigi yang kuat dan
kita juga masih memiliki martabat.
Yoo…ayoo… kita… Ganjang…
Ganjang… Malaysia
Ganjang… Malaysia
Bulatkan tekad
Semangat kita badja
Peluru kita banjak
Njawa kita banjak
Bila perlu satoe-satoe!
Soekarno.“
Pada 20 Januari 1963, Menteri
Luar Negeri Indonesia Soebandrio mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap
bermusuhan terhadap Malaysia. Pada 12 April, sukarelawan Indonesia (sepertinya
pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar
propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase. Tanggal 3 Mei 1963 di
sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta, Presiden Sukarno mengumumkan
perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya:
·
Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia
·
Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya,
Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia
Pada 27 Juli, Sukarno mengumumkan
bahwa dia akan meng-”ganyang Malaysia”. Pada 16 Agustus, pasukan dari Rejimen
Askar Melayu DiRaja berhadapan dengan lima puluh gerilyawan Indonesia.
Meskipun Filipina tidak turut
serta dalam perang, mereka memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia.
Federasi Malaysia resmi
dibentuk pada 16 September 1963. Brunei menolak bergabung dan Singapura keluar
di kemudian hari.
Ketegangan berkembang di
kedua belah pihak Selat Malaka. Dua hari kemudian para kerusuhan membakar
kedutaan Britania di Jakarta. Beberapa ratus perusuh merebut kedutaan Singapura
di Jakarta dan juga rumah diplomat Singapura. Di Malaysia, agen Indonesia
ditangkap dan massa menyerang kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur.
Di sepanjang perbatasan di
Kalimantan, terjadi peperangan perbatasan; pasukan Indonesia dan pasukan tak
resminya mencoba menduduki Sarawak dan Sabah, dengan tanpa hasil.
Pada 1964 pasukan Indonesia
mulai menyerang wilayah di Semenanjung Malaya. Di bulan Mei dibentuk Komando
Siaga yang bertugas untuk mengkoordinir kegiatan perang terhadap Malaysia
(Operasi Dwikora). Komando ini kemudian berubah menjadi Komando Mandala Siaga
(Kolaga). Kolaga dipimpin oleh Laksdya Udara Omar Dani sebagai Pangkolaga.
Kolaga sendiri terdiri dari tiga Komando, yaitu Komando Tempur Satu (Kopurtu)
berkedudukan di Sumatera yang terdiri dari 12 Batalyon TNI-AD, termasuk tiga
Batalyon Para dan satu batalyon KKO. Komando ini sasaran operasinya Semenanjung
Malaya dan dipimpin oleh Brigjen Kemal Idris sebaga Pangkopur-I. Komando Tempur
Dua (Kopurda) berkedudukan di Bengkayang, Kalimantan Barat dan terdiri dari 13
Batalyon yang berasal dari unsur KKO, AURI, dan RPKAD. Komando ini dipimpin
Brigjen Soepardjo sebagai Pangkopur-II. Komando ketiga adalah Komando Armada
Siaga yang terdiri dari unsur TNI-AL dan juga KKO. Komando ini dilengkapi
dengan Brigade Pendarat dan beroperasi di perbatasan Riau dan Kalimantan Timur.
Di bulan Agustus, enam belas
agen bersenjata Indonesia ditangkap di Johor. Aktivitas Angkatan Bersenjata
Indonesia di perbatasan juga meningkat. Tentera Laut DiRaja Malaysia
mengerahkan pasukannya untuk mempertahankan Malaysia. Tentera Malaysia hanya
sedikit saja yang diturunkan dan harus bergantung pada pos perbatasan dan
pengawasan unit komando. Misi utama mereka adalah untuk mencegah masuknya
pasukan Indonesia ke Malaysia. Sebagian besar pihak yang terlibat konflik
senjata dengan Indonesia adalah Inggris dan Australia, terutama pasukan khusus
mereka yaitu Special Air Service(SAS). Tercatat sekitar 200 pasukan khusus
Indonesia (Kopassus) tewas dan 2000 pasukan khusus Inggris/Australia (SAS) juga
tewas setelah bertempur di belantara kalimantan (Majalah Angkasa Edisi 2006).
Pada 17 Agustus pasukan
terjun payung mendarat di pantai barat daya Johor dan mencoba membentuk pasukan
gerilya. Pada 2 September 1964 pasukan terjun payung didaratkan di Labis,
Johor. Pada 29 Oktober, 52 tentara mendarat di Pontian di perbatasan
Johor-Malaka dan membunuh pasukan Resimen Askar Melayu DiRaja dan Selandia Baru
dan menumpas juga Pasukan Gerak Umum Kepolisian Kerajaan Malaysia di Batu 20,
Muar, Johor.
Ketika PBB menerima Malaysia
sebagai anggota tidak tetap. Sukarno menarik Indonesia dari PBB pada tanggal 20
Januari 1965 dan mencoba membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New
Emerging Forces, Conefo) sebagai alternatif.
Sebagai tandingan Olimpiade,
Soekarno bahkan menyelenggarakan GANEFO (Games of the New Emerging Forces) yang
diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10-22 November 1963. Pesta olahraga
ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika
Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.
Pada Januari 1965, Australia
setuju untuk mengirimkan pasukan ke Kalimantan setelah menerima banyak
permintaan dari Malaysia. Pasukan Australia menurunkan 3 Resimen Kerajaan Australia
dan Resimen Australian Special Air Service. Ada sekitar empat belas ribu
pasukan Inggris dan Persemakmuran di Australia pada saat itu. Secara resmi,
pasukan Inggris dan Australia tidak dapat mengikuti penyerang melalu perbatasan
Indonesia. Tetapi, unit seperti Special Air Service, baik Inggris maupun
Australia, masuk secara rahasia (lihat Operasi Claret). Australia mengakui
penerobosan ini pada 1996.
Pada pertengahan 1965,
Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya. Pada 28 Juni, mereka menyeberangi
perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Sabah dan berhadapan
dengan Resimen Askar Melayu Di Raja dan Kepolisian North Borneo Armed
Constabulary.
Pada 1 Juli 1965, militer
Indonesia yang berkekuatan kurang lebih 5000 orang melabrak pangkalan Angkatan
Laut Malaysia di Semporna. Serangan dan pengepungan terus dilakukan hingga 8
September namun gagal. Pasukan Indonesia mundur dan tidak penah menginjakkan
kaki lagi di bumi Malaysia. Peristiwa ini dikenal dengan “Pengepungan 68 Hari”
oleh warga Malaysia.
Menjelang akhir 1965, Jendral
Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia setelah berlangsungnya G30S/PKI. Oleh
karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang dengan
Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun mereda.
Pada 28 Mei 1966 di sebuah
konferensi di Bangkok, Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia mengumumkan
penyelesaian konflik. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan perjanjian perdamaian
ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar